JAKARTA - Emiten-emiten di sektor energi dan mineral serta batubara (minerba) kini menghadapi tantangan besar akibat ketidakpastian harga komoditas di pasar global. Hal ini semakin diperburuk dengan efek dari kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang telah mengganggu stabilitas pasar komoditas dunia.
Sejak pengumuman kebijakan tarif impor yang diumumkan Trump pada 2 April 2025, harga berbagai komoditas utama dunia menunjukkan penurunan yang tajam. Dalam seminggu terakhir, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) dan Brent mengalami penurunan masing-masing sebesar 14,27% dan 13,34%. Penurunan harga ini menggambarkan dampak langsung dari kebijakan tersebut terhadap pasar energi global.
Penurunan Harga Komoditas Global
Komoditas lainnya juga tidak luput dari dampak kebijakan tarif impor tersebut. Harga batu bara, yang menjadi komoditas andalan di sektor minerba, tercatat mengalami penurunan sebesar 5,34% dalam periode yang sama. Selain itu, harga emas, yang sebelumnya menjadi primadona sebagai komoditas investasi, juga mengalami penurunan 3,14%. Bahkan, harga tembaga, yang merupakan salah satu logam dasar yang banyak diperdagangkan, anjlok hingga 14,78% dalam seminggu terakhir. Nikel dan timah juga mengalami penurunan masing-masing sebesar 9,77% dan 7,41%.
Namun, pada hari Selasa, 8 April 2025, beberapa komoditas mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Harga batu bara tercatat mengalami kenaikan sebesar 0,52%, mencapai level US$97,50 per ton. Harga emas pun mengalami sedikit rebound, naik 1,24% ke level US$3.017,50 per ons troi. Meskipun ada pemulihan ini, harga timah justru mengalami penurunan yang lebih dalam, tercatat turun 4,10% menjadi US$33.329 per ton.
Kekhawatiran terhadap Potensi Resesi Global
Penurunan harga komoditas yang tajam tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan tarif impor AS, tetapi juga oleh meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap potensi resesi global. Muhammad Thoriq Fadilla, Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas, menyatakan bahwa tekanan utama yang menyebabkan penurunan harga komoditas datang dari ketidakpastian ekonomi global. "Selain kebijakan tarif AS, pasar semakin khawatir akan potensi resesi global. Lembaga keuangan besar seperti JP Morgan bahkan mulai menaikkan estimasi kemungkinan resesi global pada 2025 dari 40% menjadi 60%. Ini menjadi sinyal kuat bahwa pasar sedang bersiap menghadapi periode tekanan ekonomi yang lebih berat," ungkap Thoriq.
Thoriq menjelaskan lebih lanjut bahwa ekspektasi menurunnya permintaan terhadap berbagai komoditas, seperti minyak, batu bara, dan logam dasar, menjadi faktor utama yang menekan harga komoditas tersebut. "Akibatnya, harga berbagai komoditas mulai dari minyak hingga logam dasar ikut anjlok karena ekspektasi penurunan permintaan di masa depan," tambahnya.
Dampak Penurunan Harga Komoditas terhadap Emiten
Penurunan harga komoditas global tentu memiliki dampak negatif bagi emiten-emiten yang bergantung pada harga komoditas, terutama di sektor energi dan minerba. Ekky Topan, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, mengungkapkan bahwa penurunan harga komoditas dapat berdampak langsung terhadap kinerja operasional dan keuangan emiten-emiten tersebut. "Jika harga komoditas terus menurun dan kinerja perusahaan tidak sesuai dengan ekspektasi pasar, harga saham emiten juga akan tergerus," kata Ekky.
Untuk mengatasi tekanan tersebut, Ekky menyarankan agar emiten-emiten di sektor energi dan minerba melakukan langkah-langkah strategis. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan hedging, efisiensi operasional, dan pengendalian biaya yang ketat. "Tantangan terbesar bagi emiten energi dan tambang saat ini adalah bagaimana mereka dapat bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terus berdampak pada penurunan harga komoditas," tambah Ekky.
Namun, Ekky juga menyebutkan bahwa ada beberapa komoditas yang mendapatkan pengecualian tarif impor oleh AS, seperti tembaga, aluminium, logam mulia, baja, serta beberapa jenis energi dan mineral yang tidak diproduksi di AS. Kebijakan ini dapat memberikan angin segar bagi emiten yang memproduksi barang-barang tersebut. "Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada tingkat permintaan global. Jika permintaan tetap kuat, emiten-emiten ini dapat memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan daya saing dan memaksimalkan keuntungan ekspor mereka," terang Ekky.
Peluang Ekspor untuk Emiten Produsen Mineral
Thoriq menyebutkan bahwa emiten-emiten yang bergerak di bidang produksi mineral, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), dan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), berpeluang mendapatkan keuntungan kompetitif di pasar ekspor. Hal ini disebabkan oleh beberapa komoditas mereka yang dikecualikan dari kebijakan tarif impor AS. "Produk mereka bisa tetap bersaing di pasar internasional tanpa terbebani oleh tarif impor baru yang diterapkan oleh AS," ungkap Thoriq.
Namun, ia mengingatkan bahwa dinamika pasar tetap fluktuatif, sehingga peluang ini harus disikapi dengan strategi ekspansi yang cermat dan efisien. "Meski peluang ini ada, emiten harus merencanakan ekspansi mereka dengan hati-hati dan mempertimbangkan risiko fluktuasi pasar yang dapat memengaruhi kinerja mereka," tambah Thoriq.
Rekomendasi Saham di Sektor Energi dan Minerba
Meskipun tantangan yang dihadapi oleh sektor energi dan minerba sangat besar, Thoriq tetap melihat adanya peluang di sektor ini. Ia merekomendasikan untuk mengoleksi saham-saham di sektor energi dan minerba secara selektif. Salah satu saham yang disarankan adalah saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dengan rekomendasi "buy on breakout" di level Rp1.490 per saham, dengan target harga di level Rp1.620 per saham dan stop loss di level Rp1.440 per saham.
Sebaliknya, Ekky belum bisa merekomendasikan saham sektor energi dan minerba dalam kondisi pasar saat ini. Bagi investor yang tetap tertarik pada saham-saham sektor ini, Ekky menyarankan untuk mengadopsi pendekatan "wait and see" terlebih dahulu. "Investor sebaiknya memantau dengan cermat perkembangan pasar sebelum membuat keputusan lebih lanjut," tutup Ekky.