JAKARTA - Dalam dunia pembangunan infrastruktur Indonesia, era berganti membawa berbagai mega proyek ambisius yang terus dicanangkan oleh pemerintah. Jika dulu di era Jokowi, sorotan publik tertuju pada proyek jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera, kini muncul proyek super besar dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang tidak kalah mencuri perhatian, yakni Giant Sea Wall (GSW) atau Tembok Laut Raksasa.
Proyek ini dirancang sebagai solusi untuk melindungi Pantai Utara Jawa dari ancaman tenggelam akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Meski memiliki tujuan mulia, besarnya anggaran yang diperlukan, diperkirakan antara 500 triliun hingga 2.000 triliun rupiah, membuat proyek ini menjadi perdebatan sengit. Nilai investasi sebesar itu bahkan setara dengan keseluruhan anggaran pendapatan negara satu tahun penuh, yang tentu saja menimbulkan pertanyaan besar tentang keberlanjutan dan sumber dana proyek ini.
Mewarisi Proyek yang Belum Rampung
Selain GSW, pemerintah juga fokus melanjutkan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang rencananya akan diperpanjang hingga Surabaya. Proyek ini sebenarnya sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu, tetapi belum selesai. Keinginan Presiden Prabowo untuk mempercepat penyelesaian menjadi prioritas. Namun, keterbatasan anggaran negara yang telah terserap oleh berbagai program lain seperti MBG dan belanja wajib membuat pemerintah mengandalkan skema kerja sama dengan investor asing agar proyek tetap berjalan.
RPJMN dan Deretan Proyek Strategis
Di awal tahun, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang memuat sekitar 77 proyek strategis nasional. Di antara proyek tersebut, GSW menjadi yang paling ambisius dengan rencana pembangunan tembok laut sepanjang hampir 1.000 kilometer dari Banten hingga Gresik. Proyek sebesar ini tentu memerlukan skema pendanaan yang inovatif dan melibatkan banyak pihak.
Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Jadi Kunci
Untuk mendukung pendanaan tersebut, pemerintah mengandalkan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Bahkan, sebuah konferensi internasional khusus infrastruktur, International Conference on Infrastructure (ICI), telah diselenggarakan untuk menggalang investor dan menjembatani kerja sama antara pihak swasta, investor asing, dan BUMN. Menteri Koordinator Infrastruktur yang memimpin acara ini adalah AHY, putra mantan Presiden SBY, menandakan kolaborasi erat lintas generasi dan partai.
Selain itu, BUMN seperti Danantara berperan sebagai lembaga pendanaan yang memfasilitasi hubungan antara proyek dan sumber modal. Namun, tantangan tetap ada, terutama bagi proyek yang bersifat non-komersial seperti GSW, di mana potensi keuntungan bagi investor sangat minim.
GSW sendiri menghadapi berbagai kritik dan tantangan. Proyek ini tidak hanya menyita anggaran yang sangat besar, tapi juga berpotensi mengganggu aktivitas nelayan, tambak, serta ekosistem pesisir. Tantangan teknis juga tidak kecil, misalnya kemungkinan sungai tertutup oleh tembok laut yang mengharuskan penggunaan pompa besar untuk mencegah banjir.
Sebagai alternatif, ada usulan untuk membangun tembok hanya di titik-titik rawan, memanfaatkan mangrove sebagai benteng alami, atau melakukan relokasi warga terdampak, meskipun opsi terakhir ini juga membawa kerumitan tersendiri.
Kereta Cepat: Harapan dan Risiko Finansial
Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, dengan perkiraan biaya mencapai 700 triliun rupiah, juga menghadapi risiko besar. Proyek ini butuh waktu puluhan tahun untuk balik modal, membuat investor sulit bersabar. Selain itu, perdebatan rute yang paling efisien dan efektif masih terus berlangsung. Jika perencanaan kurang matang, proyek ini malah bisa saling bertabrakan dengan moda transportasi lain seperti penerbangan domestik, sehingga mengganggu ekosistem transportasi nasional.
Pembangunan Pembangkit Listrik dan Peluang Investasi
Selain infrastruktur transportasi dan pertahanan pantai, RPJMN juga menargetkan pembangunan pembangkit listrik sebesar 69,5 GW hingga 2034. Proyek seperti PLTA Kayan di Kalimantan Utara, PLTS apung di waduk-waduk Jawa, dan PLTG berbasis gas di Andaman dan Tanimbar memberikan peluang investasi yang lebih menarik dan jelas pasarannya karena sudah ada skema pembiayaan serta kontrak dengan PLN.
Ambisi Besar dengan Kesiapan Fiskal
Walaupun proyek-proyek ini menunjukkan ambisi besar pemerintah dalam menggenjot pembangunan infrastruktur, ada kekhawatiran soal kesiapan fiskal negara yang saat ini sedang ketat. Proyek yang terlalu ambisius berpotensi menjadi beban baru bagi BUMN yang seharusnya berorientasi pada keuntungan, bukan hanya menjadi penampung proyek tanpa untung.
Ini menuntut perencanaan yang matang, efisiensi dalam pelaksanaan, dan sinergi antara pemerintah, BUMN, dan investor agar megaproyek yang dicanangkan dapat terealisasi dengan hasil maksimal tanpa membebani keuangan negara.
Era pembangunan mega proyek di Indonesia memang penuh tantangan, terutama terkait sumber dana dan risiko teknis. Pemerintah di bawah Presiden Prabowo berupaya mengatasi masalah ini dengan berbagai inovasi pendanaan dan kerja sama internasional. Namun, efektivitas dan keberlanjutan proyek-proyek ini akan sangat bergantung pada manajemen fiskal, pengelolaan risiko, dan kemampuan beradaptasi dengan kondisi nyata di lapangan.