JAKARTA - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini sedang mempertimbangkan penghapusan saham (delisting) PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) dari bursa, sejalan dengan keputusan pailit yang telah dijatuhkan kepada perusahaan tekstil besar tersebut. Keadaan ini bukan hanya mengguncang para investor, tetapi juga memberikan dampak signifikan bagi industri tekstil Indonesia secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Hendra Wardana, Founder Stocknow, memberikan analisisnya mengenai kemungkinan delisting saham SRIL. "Dalam situasi seperti ini, delisting saham SRIL adalah opsi yang paling rasional untuk menjaga integritas pasar modal Indonesia," ujarnya saat diwawancarai oleh Validnews pada Rabu, 5 Maret. Analisis tersebut didasarkan pada situasi keuangan Sritex yang semakin memburuk dan keputusan pailit yang memaksa perusahaan untuk memutus kontrak dan melakukan PHK terhadap ribuan karyawannya.
Pentingnya Penerapan Analisis Fundamental
Menurut Hendra, konsekuensi dari pailitnya Sritex harus menjadi pengingat bagi seluruh investor untuk berhati-hati dalam melakukan investasi di pasar saham. "Bagi investor, ini menjadi pembelajaran penting bahwa dalam berinvestasi di pasar saham, analisis fundamental perusahaan dan risiko bisnis harus selalu diperhatikan," tambahnya.
Dampak terhadap Industri Tekstil
Sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Tanah Air, kejatuhan Sritex memberi dampak yang signifikan kepada industri tekstil nasional. Menurut Hendra, hal ini menyoroti perlunya regulasi dan kebijakan proteksi yang lebih kuat untuk menjaga industri dalam negeri dari persaingan global yang semakin ketat.
"Bagi industri tekstil, kasus Sritex menunjukkan perlunya kebijakan proteksi yang lebih kuat untuk menghadapi persaingan global dan memastikan keberlanjutan industri dalam negeri," terang Hendra.
Sritex sendiri merupakan pemain utama di pasar tekstil, terutama sebagai pemasok seragam militer di dalam negeri dan untuk pasar ekspor. Kondisi pailit Sritex diprediksi akan memicu renegosiasi kontrak, atau bahkan pembatalan pengadaan oleh negara-negara yang sebelumnya bergantung pada pasokan dari mereka.
Pilihan Rasional Delisting dari BEI
Terkait langkah selanjutnya, BEI menyatakan masih menunggu dokumen hukum resmi sehubungan dengan putusan final terkait status pailit Sritex. Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menjelaskan bahwa mereka telah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membahas perubahan status SRIL dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup, yang salah satu prosesnya melibatkan delisting saham.
"Jika SRIL resmi dinyatakan pailit, Bursa akan menyampaikan laporan kepada OJK sebagaimana diatur dalam POJK 45 tahun 2024," kata Nyoman kepada media, Selasa, 4 Maret. Adapun Pasal 18 POJK 45 tahun 2024 mensyaratkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan pembelian kembali saham yang dimiliki masyarakat sebelum perubahan status perusahaan dapat dilakukan.
Hendra menjelaskan bahwa dalam konteks perusahaan yang pailit, delisting adalah langkah terbaik yang dapat diambil. "Karena dalam proses kepailitan, prioritas utama adalah menyelesaikan kewajiban perusahaan kepada kreditur. Sementara pemegang saham berada di posisi terakhir dalam hal pembagian aset, jika ada sisa setelah proses likuidasi," ungkap Hendra.
Buyback: Opsi yang Hampir Tidak Mungkin
Hendra juga menyoroti bahwa opsi buyback saham oleh Sritex hampir tidak mungkin dilakukan mengingat keterbatasan likuiditas saat ini. Semua keputusan terkait aset dan likuidasi kini berada di tangan kurator yang bertugas menyelesaikan seluruh kewajiban perusahaan kepada kreditur terlebih dahulu.
"Setelah putusan pailit keluar, segala keputusan terkait aset dan likuidasi berada di tangan kurator yang bertanggung jawab untuk membereskan seluruh kewajiban perusahaan kepada kreditur terlebih dahulu. Jadi, opsi buyback hampir tidak mungkin dilakukan dalam kondisi saat ini," tuturnya.
Implikasi Bagi Industri Tekstil Nasional
Dampak lebih lanjut dari pailitnya Sritex berimbas pada peningkatan ketidakpastian dalam industri tekstil. Tekanan dari produk tekstil murah asal China semakin menggerus daya saing industri domestik. Hendra mengingatkan, "Jika tidak ada langkah strategis dari pemerintah untuk melindungi industri tekstil nasional, bukan tidak mungkin perusahaan tekstil lain akan mengalami nasib serupa di masa depan."
Koordinasi BEI dan OJK untuk Proses Delisting
Sementara itu, BEI masih menunggu legalisasi putusan pailit sebelum akhirnya menindaklanjuti proses delisting. Menurut informasi dari BEI, saham SRIL telah mengalami suspensi sejak 18 Mei 2021, yang kini telah berlangsung lebih dari dua tahun. Masyarakat hingga kini masih memegang 8.158.734.000 lembar saham atau setara dengan 39,89%, menjadikannya pemegang saham terbesar kedua SRIL.
Dengan segala pertimbangan ini, keputusan delisting PT Sri Rejeki Isman Tbk tampaknya sangat mungkin untuk dilakukan dalam menjaga keseimbangan dan kepastian di pasar modal Indonesia. Kedepannya, langkah-langkah ofensif dalam bentuk regulasi dan perlindungan bagi industri tekstil perlu dirancang dengan baik guna memperkuat daya saing nasional, terlepas dari persaingan internasional yang tidak dapat dihindari.