JAKARTA - Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam perekonomian negara. Sebagai instrumen utama pemerintah dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran, kebijakan fiskal tidak hanya berfungsi untuk menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga mendorong pertumbuhan yang inklusif serta mengurangi kesenjangan sosial. Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, termasuk perubahan iklim, kebijakan fiskal kini dihadapkan pada tugas baru, yaitu mendorong transisi menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan serta mengelola utang negara dengan bijak.
Salah satu aspek paling krusial dalam kebijakan fiskal adalah penetapan tarif pajak. Pajak yang dipungut oleh negara tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan, tetapi juga sebagai instrumen untuk mengarahkan perilaku ekonomi masyarakat dan pelaku usaha. Pemilihan tarif pajak yang tepat dapat menarik investasi, mendorong inovasi, serta memperkuat daya saing nasional. Selain itu, pemerintah juga harus menjaga kepastian hukum dalam regulasi perpajakan dan investasi, karena ketidakpastian seringkali menjadi penghalang bagi investor untuk mengambil keputusan jangka panjang.
Namun, tantangan kebijakan fiskal semakin berat ketika diperkenalkan agenda pembangunan berkelanjutan, yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada pelestarian lingkungan. Salah satu langkah strategis yang diambil oleh banyak negara adalah mengintegrasikan kebijakan fiskal dengan investasi hijau yang berorientasi pada mitigasi perubahan iklim dan pembangunan ekonomi rendah karbon. Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat berperan sebagai pendorong utama bagi transisi menuju ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Tarif Pajak dan Insentif untuk Investasi Hijau
Salah satu cara utama yang digunakan oleh negara untuk mendorong investasi hijau adalah melalui kebijakan fiskal berbasis insentif, terutama yang berkaitan dengan pajak. Pajak karbon, yang dikenakan untuk setiap ton emisi karbon dioksida (CO₂) yang dihasilkan oleh perusahaan, telah diterapkan oleh sejumlah negara maju dengan hasil yang signifikan.
Sebagai contoh, Swedia telah menerapkan pajak karbon sebesar USD137 per ton CO₂ dan berhasil menurunkan emisi karbon negara tersebut hingga 25% dalam dua dekade terakhir. Di Kanada, pajak karbon terus dinaikkan setiap tahunnya sebagai bagian dari upaya negara tersebut untuk mendorong peralihan menuju energi terbarukan. Kebijakan serupa juga diterapkan di Jerman dan Amerika Serikat, di mana perusahaan yang berinvestasi dalam energi hijau diberi keringanan pajak untuk mempercepat peralihan ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Di Indonesia, meskipun insentif fiskal untuk investasi hijau mulai diberlakukan, terutama dengan penerbitan green sukuk senilai USD750 juta pada tahun 2023 untuk pembiayaan proyek energi hijau, upaya ini masih perlu diperkuat agar lebih kompetitif di pasar global. Salah satu tantangan terbesar adalah ketidakpastian regulasi yang bisa menjadi hambatan bagi investor, terutama yang berhubungan dengan perizinan dan perubahan kebijakan yang mendadak.
Seperti yang dikemukakan oleh seorang analis ekonomi, “Ketidakpastian regulasi atau perubahan kebijakan yang mendadak sering kali menghambat masuknya investasi dan memperlambat transisi ke energi bersih,” ujar Beatriz Benito, pemimpin analis asuransi GlobalData.
Di samping itu, reformasi birokrasi dalam proses perizinan juga menjadi isu penting. Proses perizinan yang rumit dan tumpang tindih sering kali menjadi hambatan dalam sektor energi terbarukan. Dengan adanya kebijakan seperti Omnibus Law yang bertujuan untuk menyederhanakan regulasi, pemerintah berharap dapat meningkatkan kemudahan berusaha dan mempercepat investasi hijau.
Investasi Hijau dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Investasi hijau tidak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga berpotensi memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Laporan dari International Monetary Fund (IMF) tahun 2022 menyebutkan bahwa investasi dalam teknologi ramah lingkungan dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan daya saing industri, dan mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan.
Di Eropa, sektor energi terbarukan telah menciptakan lebih dari satu juta lapangan kerja dalam satu dekade terakhir, menunjukkan bahwa investasi hijau memiliki dampak langsung terhadap penciptaan pekerjaan dan pengembangan industri baru yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah dapat meningkatkan investasi hijau dengan memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) serta memfasilitasi kerja sama antara sektor publik dan swasta (Public-Private Partnership/PPP) untuk membiayai proyek infrastruktur hijau berskala besar.
Pajak lingkungan juga berperan penting dalam mendorong peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan. Negara-negara yang menerapkan pajak lingkungan secara tepat mampu menurunkan emisi karbon mereka tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Kebijakan ini menjadi instrumen efektif dalam menciptakan insentif bagi perusahaan dan individu untuk berinvestasi pada solusi yang lebih ramah lingkungan.
Pengelolaan Utang Negara dan Kenaikan PPN
Di tengah kebutuhan pendanaan yang besar untuk transisi energi dan mitigasi perubahan iklim, pengelolaan utang negara menjadi tantangan tersendiri bagi kebijakan fiskal. Utang yang tidak dikelola dengan bijak dapat menambah beban fiskal dan mempengaruhi stabilitas ekonomi jangka panjang. Untuk itu, kebijakan fiskal yang efektif harus mencakup pengelolaan utang negara yang hati-hati serta penerimaan pajak yang memadai.
Salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penerimaan adalah dengan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Setelah kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, tarif PPN direncanakan untuk kembali meningkat menjadi 12% pada tahun 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Namun, meskipun kenaikan PPN berpotensi meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini juga dapat menimbulkan risiko terhadap daya beli masyarakat dan inflasi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyertakan kebijakan pendukung, seperti subsidi energi hijau dan bantuan sosial bagi kelompok masyarakat rentan, untuk memitigasi dampak negatif dari kenaikan pajak tersebut.