Ketua KPAD Batubara Soroti Kasus Penelantaran Bayi di Laut Tador, Tekankan Pentingnya Edukasi Perlindungan Anak
BATUBARA – Kasus penelantaran bayi yang ditemukan di Desa Laut Tador, Kecamatan Laut Tador, Kabupaten Batubara, memicu keprihatinan mendalam dari berbagai pihak, terutama dari Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Batubara, Helmi Syam Damanik, SH, MH, CRA. Helmi menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya merupakan persoalan individu, melainkan cerminan dari kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak dan tanggung jawab bersama dalam menjaga kesejahteraan generasi muda.
Dalam kunjungannya ke Puskesmas Laut Tador bersama tim dari Dinas Sosial PPPA Batubara dan pekerja sosial dari Kementerian Sosial, Helmi mengungkapkan keprihatinannya atas kasus ini dan menegaskan bahwa masyarakat harus lebih aktif dalam memberikan edukasi, khususnya kepada remaja dan keluarga, untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
"Peristiwa ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua. Kasus pembuangan bayi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Kita harus lebih aktif dalam memberikan edukasi, terutama kepada remaja dan keluarga, agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan," ujar Helmi dengan nada tegas, mengingatkan pentingnya peran setiap elemen dalam menjaga kesejahteraan anak.
Awal Mula Kasus Penelantaran Bayi
Peristiwa memilukan ini berawal dari seorang siswi kelas 2 SMA di Tebing Tinggi yang melahirkan seorang bayi pada Minggu malam di rumahnya. Remaja tersebut, yang hidup dalam kondisi keluarga yang tidak utuh, hanya tinggal bersama kakeknya. Ibu remaja tersebut tinggal di Medan, sedangkan ayahnya bekerja di Malaysia. Diduga mengalami tekanan psikologis akibat kehamilan di luar nikah, remaja ini kemudian membuat keputusan yang sangat tragis dengan meletakkan bayinya di belakang rumah tetangganya.
Pada Rabu pagi, bayi tersebut ditemukan oleh warga dalam kondisi masih hidup. Menyusul temuan itu, pihak keluarga dan aparat terkait segera melakukan mediasi. Setelah pertemuan tersebut, orang tua biologis bayi sepakat untuk bertanggung jawab atas anak tersebut dan merencanakan untuk menikah secara agama setelah Hari Raya Idul Fitri sebagai komitmen mereka dalam membesarkan anak tersebut bersama-sama.
Pentingnya Edukasi Perlindungan Anak
Helmi Syam Damanik menegaskan bahwa kejadian ini menggambarkan betapa pentingnya edukasi tentang kesehatan reproduksi dan tanggung jawab orang tua, baik di tingkat keluarga maupun sekolah. Ia menilai bahwa langkah-langkah preventif harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan untuk mencegah peristiwa serupa terjadi lagi.
"Saya ingin menekankan bahwa sosialisasi mengenai perlindungan anak harus digencarkan, tidak hanya melalui sekolah tetapi juga melalui PKK di setiap desa. Ibu-ibu harus diberdayakan untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak mereka sejak dini agar mereka tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang berisiko," kata Helmi.
Ia juga menyarankan agar upaya edukasi yang dilakukan tidak hanya fokus pada materi-materi teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan penguatan pemahaman anak-anak tentang hak mereka untuk hidup dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang.
Peran Masyarakat dalam Mencegah Kejadian Serupa
Helmi mengingatkan bahwa pencegahan harus menjadi langkah utama, bukan hanya reaksi setelah kejadian terjadi. Ia mengajak semua elemen masyarakat, termasuk perangkat desa, tokoh agama, dan organisasi sosial, untuk lebih proaktif dalam memberikan edukasi kepada remaja tentang risiko pergaulan bebas serta pentingnya tanggung jawab terhadap anak.
"Kita tidak bisa hanya bereaksi setelah kejadian terjadi. Harus ada langkah pencegahan yang sistematis agar anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang lebih aman dan memiliki pemahaman yang baik tentang hak dan kewajiban mereka," tambahnya.
Peran masyarakat dalam pencegahan penelantaran anak sangat penting. Masyarakat yang sadar akan hak-hak anak akan mampu memberikan dukungan kepada remaja yang menghadapi masalah sosial. Ketika masalah ini dihadapi secara bersama-sama, kemungkinan kejadian serupa dapat diminimalisir.
Pendampingan oleh Dinas Sosial dan Kemensos
Dinas Sosial PPPA Kabupaten Batubara, yang diwakili oleh Kepala Bidang Perlindungan Anak, Khadijah, bersama tim pekerja sosial dari Kementerian Sosial, akan terus memantau perkembangan kondisi bayi tersebut. Mereka juga berkomitmen untuk memberikan pendampingan psikososial kepada ibu dan keluarga bayi untuk memastikan bahwa semua pihak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Kasus ini menjadi penting, tidak hanya dari sisi psikologis dan sosial, tetapi juga dari sisi hukum. Oleh karena itu, Helmi menekankan bahwa kasus ini harus dikaji secara mendalam dengan merujuk pada regulasi yang ada, khususnya Undang-Undang Perlindungan Anak.
Penanganan Hukum dan Regulasi yang Relevan
Helmi mengingatkan bahwa dalam kasus penelantaran bayi ini, ada sejumlah regulasi yang perlu menjadi perhatian, antara lain:
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan serta penelantaran.
Pasal 76B UU Perlindungan Anak, yang mengatur bahwa setiap orang dilarang menelantarkan anak hingga menyebabkan kerugian materiil maupun moril.
Pasal 305 KUHP, yang mengancam hukuman bagi siapapun yang dengan sengaja menelantarkan anak di bawah umur.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, yang mengatur batas usia minimal untuk menikah dan pentingnya pengawasan terhadap pernikahan dini.
Dengan adanya regulasi tersebut, diharapkan perlindungan terhadap anak-anak yang terancam penelantaran dapat dioptimalkan, baik dari segi hukum maupun sosial.
Ajakan untuk Peduli Perlindungan Anak
Sebagai Ketua KPAD Batubara, Helmi mengajak seluruh masyarakat untuk lebih peduli terhadap perlindungan anak, khususnya dalam memberikan dukungan moral dan edukasi kepada remaja yang menghadapi masalah sosial. Ia menegaskan bahwa perlindungan anak bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama.
"Kita perlu membangun sistem sosial yang lebih peduli dan responsif terhadap persoalan anak. Jangan sampai ada lagi kasus bayi terlantar karena kurangnya edukasi dan perhatian. Jika ada remaja yang mengalami masalah, mereka harus merasa memiliki tempat untuk meminta bantuan, bukan malah terpaksa mengambil keputusan yang berbahaya," ujar Helmi.