Nikel

Masyarakat Adat Suku Kawei Tegas Menolak Rencana Operasi Tambang Nikel di Pulau Batan Pelei, Raja Ampat

Masyarakat Adat Suku Kawei Tegas Menolak Rencana Operasi Tambang Nikel di Pulau Batan Pelei, Raja Ampat
Masyarakat Adat Suku Kawei Tegas Menolak Rencana Operasi Tambang Nikel di Pulau Batan Pelei, Raja Ampat

JAKARTA - Masyarakat adat Suku Kawei yang bermukim di Kampung Manyaifun, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, bersama dengan pelaku industri pariwisata setempat, menggelar penolakan keras terhadap rencana eksploitasi tambang nikel di Pulau Batan Pelei. Mereka menilai bahwa tambang tersebut akan memberikan dampak yang sangat buruk bagi ekosistem laut dan merusak sektor pariwisata yang menjadi sumber utama perekonomian daerah.

Penolakan ini semakin meluas, tidak hanya dari masyarakat adat dan para aktivis lingkungan, tetapi juga dari pelaku industri pariwisata yang tergabung dalam Koalisi Persatuan Pelaku Wisata Raja Ampat. Para pelaku pariwisata ini menganggap bahwa operasi tambang nikel di wilayah Raja Ampat akan mengancam keberlanjutan ekosistem dan industri wisata yang telah membawa daerah tersebut dikenal di kancah internasional.

"Kami tidak akan tinggal diam melihat tanah kami dieksploitasi tanpa memikirkan dampaknya bagi generasi mendatang. Tambang ini tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, justru akan menghancurkan sumber kehidupan utama kami," ujar Lucky Mambraku, Ketua Pemuda Kreatif Raja Ampat (PERKARA), yang turut serta dalam gerakan penolakan tersebut.
 

Keberlanjutan Pariwisata di Raja Ampat Terancam
 

Raja Ampat, yang dikenal dengan keindahan alam bawah laut dan menjadi salah satu destinasi wisata dunia, sangat bergantung pada keberlanjutan lingkungan dan ekosistem lautnya. Wilayah ini memiliki gugusan terumbu karang yang menjadi habitat bagi berbagai spesies laut, serta potensi pariwisata bahari yang sangat besar. Namun, rencana operasi tambang nikel di Pulau Batan Pelei dianggap sebagai ancaman serius terhadap ekosistem tersebut.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP) telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 2.194 hektare dan telah mulai melakukan survei serta pengambilan sampel sejak September 2024. Rencana tambang ini, yang diperkirakan akan menyebabkan deforestasi besar-besaran, ditentang keras oleh masyarakat adat Suku Kawei, yang khawatir akan rusaknya habitat laut mereka yang menjadi sumber mata pencaharian utama, baik dari perikanan, pertanian, hingga pariwisata.

"Jika tambang ini dipaksakan beroperasi, maka pemukiman warga, ekosistem laut, dan masa depan pariwisata Raja Ampat akan hancur. Kami berharap pemerintah segera mengambil sikap sebelum semuanya terlambat," kata salah satu warga Kampung Manyaifun.
 

Gerakan Penolakan yang Melibatkan Asosiasi Pariwisata
 

Gelombang penolakan ini semakin kuat, dengan empat organisasi pariwisata yang tergabung dalam Koalisi Persatuan Pelaku Wisata Raja Ampat, yaitu Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), Professional Association of Diver Raja Ampat (PADRA), Asosiasi Speedboat Raja Ampat (ASRA), dan Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Raja Ampat (PERJAMPAT), secara tegas mendukung penolakan terhadap aktivitas tambang di pulau tersebut. Mereka menekankan bahwa keberadaan tambang di kawasan Raja Ampat akan merusak daya tarik utama pariwisata yang menjadi sumber ekonomi lokal, serta memberikan dampak buruk pada kelestarian lingkungan.

Sebagai simbol penolakan, pada malam Selasa, 11 Maret 2025, sekitar pukul 22.00 WIT, masyarakat dan aktivis lingkungan memasang baliho besar bertuliskan: "MENOLAK KERAS AKTIVITAS TAMBANG DI RAJA AMPAT, KARENA AKAN MERUSAK PARIWISATA DAN MENINGGALKAN AIR MATA BAGI ANAK CUCU KITA" di pintu masuk utama Pelabuhan Kota Waisai, pusat pemerintahan Raja Ampat.

Menurut para pelaku wisata, operasional tambang nikel akan memicu kerusakan lingkungan yang tidak hanya mengancam kelestarian alam, tetapi juga akan menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata.

"Keberadaan tambang ini adalah ancaman langsung bagi industri wisata yang sudah berkembang pesat. Jika ini terus dilanjutkan, Raja Ampat bisa kehilangan statusnya sebagai destinasi wisata unggulan dunia," kata Fredi Lata, salah satu pelaku industri wisata di Raja Ampat.
 

Ancaman Terhadap Ekosistem Laut dan Kehidupan Masyarakat Lokal
 

Pulau Batan Pelei terletak di wilayah yang strategis, dekat dengan Pulau Piaynemo, yang dikenal sebagai ikon pariwisata internasional Indonesia. Masyarakat adat Suku Kawei dan berbagai asosiasi pariwisata menilai bahwa aktivitas pertambangan di kawasan ini berpotensi merusak ekosistem laut yang ada, yang selama ini menjadi sumber penghidupan utama bagi masyarakat setempat.

Rencana tambang yang akan menggunduli hutan dan membuka lahan seluas ribuan hektare dapat menyebabkan pencemaran air laut, kerusakan terumbu karang, serta menurunnya kualitas air yang vital bagi kehidupan masyarakat pesisir. Selain itu, penurunan kualitas lingkungan dapat menyebabkan turunnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi sektor pariwisata secara langsung.

"Kami sangat khawatir dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh tambang ini terhadap kehidupan kami. Kami mengandalkan laut dan alam untuk bertahan hidup. Jika tambang ini tetap dilanjutkan, kami akan kehilangan semuanya," ujar salah satu warga Kampung Manyaifun yang enggan disebutkan namanya.
 

Pemerintah Diharapkan Segera Bertindak
 

Masyarakat Raja Ampat berharap agar pemerintah pusat dan daerah segera menanggapi tuntutan mereka. Mereka meminta agar pemerintah mengambil langkah tegas untuk menghentikan rencana eksploitasi tambang nikel di Pulau Batan Pelei, demi menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sektor pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian lokal.

"Penolakan ini bukan hanya tugas masyarakat atau asosiasi wisata, tetapi juga membutuhkan keberanian pejabat daerah untuk mengintervensi perizinan tambang yang bisa menghancurkan Raja Ampat," ujar Lucky Mambraku dari PERKARA, yang menyerukan aksi lebih lanjut untuk menggugah perhatian pemerintah.

Penolakan ini menggema luas, dengan gerakan masyarakat yang semakin kuat dan meluas. Kini, semua mata tertuju pada pemerintah: Akankah mereka mendengarkan suara rakyat Raja Ampat dan melindungi warisan alam yang telah dikenal dunia, ataukah akan membiarkan daerah ini terancam oleh eksploitasi tambang yang hanya menguntungkan segelintir pihak?

"Kami ingin melindungi Raja Ampat, bukan menyerah pada eksploitasi yang bisa merusak segalanya," kata warga Suku Kawei dengan tegas.

Dengan semakin meningkatnya kesadaran dan penolakan dari berbagai pihak, persoalan ini kini menjadi ujian besar bagi pemerintah dalam melindungi ekosistem, masyarakat, dan pariwisata yang telah menjadi kebanggaan Indonesia di mata dunia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index