JAKARTA - Wacana pemerintah soal rencana menurunkan batas minimal rumah subsidi menjadi 18 meter persegi justru bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Masyarakat, khususnya pencari properti di kawasan Jabodetabek, lebih memilih rumah dengan ukuran yang lebih luas dan nyaman. Tren pencarian hunian menunjukkan keinginan kuat untuk rumah yang mampu menampung kebutuhan jangka panjang, terutama bagi keluarga yang tengah tumbuh.
Berdasarkan data Rumah123 selama Januari sampai Mei, rumah berukuran di bawah 20 meter persegi kurang diminati. Untuk rumah tapak, hanya 0,8 persen pencari yang mempertimbangkan ukuran sekecil itu, sementara apartemen sedikit lebih diminati yakni 3,9 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kenyamanan dan fungsi ruang menjadi prioritas utama bagi masyarakat dalam memilih hunian.
Marisa Jaya, Head of Research Rumah123, menyebutkan bahwa masyarakat yang mencari rumah tapak mengutamakan fleksibilitas, privasi, serta ruang yang cukup untuk berkembang bersama keluarga. Keinginan ini menggambarkan kebutuhan hunian yang lebih dari sekadar tempat tinggal, tetapi juga ruang hidup yang memadai untuk mendukung kualitas hidup.
Ukuran Hunian Ideal dan Preferensi Konsumen
Pengamatan terhadap pencarian hunian di Jabodetabek menunjukkan kecenderungan yang jelas: rumah tapak dengan luas antara 90 sampai 150 meter persegi paling banyak dicari, mendominasi 23,4 persen dari total pencarian. Segmen berikutnya adalah rumah berukuran 20–60 meter persegi dengan 22,6 persen dan 60–90 meter persegi dengan 19,1 persen pencarian.
Sementara itu, pada segmen apartemen, unit dengan ukuran 20–60 meter persegi menjadi pilihan terbesar, mencapai 47,9 persen. Hal ini sesuai dengan karakter apartemen yang memang mengutamakan efisiensi ruang, cocok untuk penghuni milenial, pekerja muda, atau keluarga kecil yang membutuhkan hunian praktis.
Marisa menjelaskan perbedaan preferensi ini muncul karena fungsi hunian yang berbeda. Rumah tapak biasanya dipilih untuk jangka panjang, dengan harapan dapat menyesuaikan dengan perkembangan keluarga melalui renovasi atau perluasan di masa depan. Sedangkan apartemen lebih bersifat praktis dan efisien sesuai kebutuhan demografis tertentu.
Kebijakan Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Perlu Kajian Mendalam
Rencana pemerintah menurunkan batas minimal rumah subsidi menjadi 18 meter persegi menjadi perdebatan yang cukup sengit. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap solusi strategis untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat berpenghasilan rendah secara kuantitas. Namun di sisi lain, ada keraguan soal kenyamanan dan kelayakan hidup di rumah sekecil itu.
Marisa menegaskan bahwa rendahnya minat terhadap rumah dengan ukuran sangat kecil ini harus menjadi bahan pertimbangan serius dalam merancang kebijakan perumahan nasional. Pasar menunjukkan masyarakat ingin hunian yang tidak hanya murah, tetapi juga layak huni dan nyaman untuk ditempati jangka panjang.
Selain aspek fisik, faktor psikologis dan sosial juga penting. Ruang yang terlalu sempit dapat menimbulkan tekanan dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi keluarga yang terus berkembang. Hal ini perlu diperhitungkan agar kebijakan perumahan tidak hanya berorientasi pada angka, tapi juga kualitas hidup penghuninya.
Implikasi dan Tantangan Kebijakan Perumahan Nasional
Perbedaan preferensi antara rumah tapak dan apartemen menggarisbawahi pentingnya kebijakan perumahan yang tidak seragam. Pemerintah diharapkan tidak hanya mengejar kuantitas rumah subsidi, tetapi juga memperhatikan kualitas dan kecocokan hunian dengan kebutuhan masyarakat.
Insentif untuk pengembang dalam membangun rumah berukuran ideal dengan harga terjangkau, perbaikan regulasi tata ruang, serta desain yang mempertimbangkan kenyamanan dan kebutuhan keluarga, menjadi kunci mewujudkan ekosistem perumahan yang inklusif dan berkelanjutan.
Mengingat tingginya permintaan terhadap rumah dengan ukuran sedang hingga besar, pemerintah perlu meninjau kembali rencana rumah subsidi 18 meter persegi. Data nyata menunjukkan masyarakat tidak hanya mengejar harga murah, tetapi juga mengutamakan fungsi dan kenyamanan hunian. Oleh sebab itu, solusi perumahan harus mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat urban modern agar hunian menjadi tempat tinggal yang layak dan bermakna.
Fenomena preferensi hunian yang lebih luas ini menegaskan bahwa rumah bukan sekadar aset investasi, melainkan juga fondasi kehidupan keluarga dan refleksi kestabilan sosial ekonomi. Maka, kebijakan perumahan harus mengakomodasi aspirasi masyarakat agar tercipta keseimbangan antara keterjangkauan dan kenyamanan.
Masa depan perumahan di kawasan Jabodetabek dan Indonesia secara umum sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dan pelaku industri untuk menyelaraskan antara kebutuhan pasar dan kebijakan strategis. Dengan pendekatan yang tepat, hunian ideal dapat terus menjadi pilihan utama warga, sekaligus mendorong pertumbuhan sektor properti yang sehat dan berkelanjutan.