Harga Komoditas Melemah Imbas Kebijakan Tarif Trump dan Potensi Resesi Global, Sektor Nikel Menghadapi Tantangan Berat

Senin, 14 April 2025 | 00:14:46 WIB
Harga Komoditas Melemah Imbas Kebijakan Tarif Trump dan Potensi Resesi Global, Sektor Nikel Menghadapi Tantangan Berat

JAKARTA - Ketidakpastian global akibat kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump serta kekhawatiran resesi global kini memberikan dampak yang signifikan terhadap harga komoditas utama. Minyak mentah, logam industri, dan komoditas lainnya telah mengalami penurunan harga yang cukup drastis dalam beberapa waktu terakhir. Penurunan ini, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan domestik, memicu ketidakpastian lebih lanjut dalam pasar global, termasuk pasar nikel yang kini menghadapi jalan terjal.

Penurunan Harga Komoditas Global: Minyak dan Logam Tertekan

Data yang dirilis oleh Trading Economics menunjukkan penurunan signifikan dalam harga minyak dan logam industri selama sebulan terakhir. Harga minyak WTI tercatat turun 9,13% menjadi US$ 61,5 per barel, sementara minyak Brent mengalami penurunan 8,72%, mencapai US$ 64,76 per barel hingga Jumat, 11 April 2025. Selain minyak, logam industri juga tertekan, dengan penurunan terbesar terjadi pada harga aluminium yang turun sebesar 11,01% ke US$ 2.401 per ton, serta nikel yang turun 10,17% menjadi US$ 15.020 per ton. Timah juga mengalami penurunan 7,54% dan kini diperdagangkan pada US$ 30.658 per ton.

Penurunan harga ini terjadi di tengah ketidakpastian global yang dipicu oleh dua faktor utama: ketegangan dalam perang dagang dan potensi resesi global. Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan, analis dari Indo Premier Sekuritas, menjelaskan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi pelemahan harga komoditas adalah tingginya kemungkinan penundaan ekspansi industri akibat ketidakpastian yang diakibatkan oleh kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS, khususnya dalam konteks perang dagang dengan China.

"Meski saat ini terdapat jeda 90 hari terhadap tarif timbal balik, kecuali untuk China, ketidakpastian terhadap permintaan global masih membayangi," ungkap Ryan Winipta dalam riset yang diterbitkan pada awal April 2025.

Risiko Penurunan Permintaan Global dan Inflasi Jangka Pendek

Selain dampak perang dagang, tekanan inflasi jangka pendek juga berperan besar dalam menurunnya harga komoditas utama. Kenaikan biaya modal yang dipicu oleh inflasi meningkatkan biaya operasional bagi industri pengolah logam, meskipun dalam jangka menengah, situasi ini bisa berubah menjadi stagflasi atau bahkan deflasi yang tentunya berdampak lebih jauh pada permintaan global.

Kondisi ini memperburuk proyeksi harga logam dalam jangka pendek, dengan banyak pelaku industri yang merasa cemas atas potensi penurunan lebih lanjut. "Kenaikan inflasi jangka pendek ini menyebabkan biaya modal meningkat, yang mempengaruhi daya beli industri, dan pada gilirannya berpotensi menekan permintaan global akan logam," ujar Reggie Parengkuan, menambahkan pandangannya.

Pasokan dan Kebijakan Energi yang Menekan Biaya Produksi

Selain tantangan di sisi permintaan, sektor nikel juga harus menghadapi tekanan dari sisi pasokan. Rencana implementasi program B40, yang akan dimulai pada pertengahan April 2025, serta potensi kenaikan tarif royalti pertambangan, menjadi risiko besar bagi industri nikel, terutama bagi para pelaku industri yang mengandalkan pasokan bahan baku dengan harga stabil.

"Implementasi program B40 dan potensi kenaikan tarif royalti bisa menambah tantangan bagi industri nikel, terutama karena energi menyumbang sekitar 30% dari total biaya operasional smelter," jelas para analis dari Indo Premier Sekuritas. Namun, di sisi lain, penurunan harga energi juga memicu dampak yang tidak terduga. Batubara ICI dan Newcastle tercatat turun 6% dan 21% secara tahunan, sementara minyak mentah juga turun 18% sepanjang tahun ini.

Penurunan harga energi ini, meskipun dapat mengurangi biaya produksi, juga menyebabkan biaya produksi nikel pig iron (NPI) berpotensi melemah lebih dalam. Hal ini sangat terasa mengingat permintaan yang masih lemah di pasar global, serta harga NPI yang cenderung turun mengikuti tren penurunan harga energi.

Nikel Kelas 2 yang Tak Terpengaruh Tarif

Mayoritas produsen nikel di Indonesia saat ini tidak memproduksi nikel murni 99,9%, melainkan produk nikel kelas 2 seperti NPI (Nikel Pig Iron) dan feronikel. Produk-produk ini memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan nikel murni, dan belum terlalu terpengaruh oleh kebijakan tarif karena tidak ada spekulan finansial dalam pembentukan harga produk ini.

Menurut para analis, meskipun nikel kelas 2 tidak terlalu terpengaruh oleh tarif, dampak dari penurunan harga energi dan permintaan yang lemah tetap menekan harga jual produk ini. "Produk-produk nikel kelas 2 ini tetap menghadapi tantangan yang besar, terutama dengan penurunan harga energi dan kondisi pasar yang lesu," papar mereka.

Proyeksi Harga Nikel dan Rekomendasi Saham

Indo Premier Sekuritas memproyeksikan bahwa harga nikel akan melalui masa-masa sulit sebelum berbalik naik. Dengan tekanan dari sisi biaya dan permintaan yang masih belum stabil, prospek sektor nikel masih dipenuhi dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, mereka merekomendasikan agar para investor berhati-hati dalam menghadapi situasi ini.

Namun, meskipun prospek sektor nikel cukup menantang, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) tetap menjadi pilihan utama bagi investor. Bank Mandiri menilai ANTM sebagai perusahaan yang memiliki arus kas bebas yang kuat, dengan imbal hasil dividen yang menarik di kisaran 9% hingga 10%, serta neraca keuangan yang solid. "ANTM telah mencatatkan kinerja lebih baik dibandingkan dengan emiten sejenis dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara Year-to-Date (YTD)," ujar analis Indo Premier Sekuritas.

Kesimpulan: Jalan Terjal di Depan Sektor Nikel

Dalam menghadapi tantangan global yang kian kompleks, sektor nikel, bersama dengan komoditas lainnya, diperkirakan akan menghadapi masa-masa sulit. Penurunan harga yang disebabkan oleh ketidakpastian perang dagang, inflasi, serta penurunan permintaan global akan terus memberi dampak pada sektor ini dalam jangka pendek. Meskipun demikian, bagi investor yang cermat dan memiliki strategi jangka panjang, sektor ini tetap menawarkan potensi, terutama dengan pilihan saham seperti ANTM yang diperkirakan akan lebih tahan terhadap guncangan pasar.

Para pelaku industri dan investor diharapkan untuk memantau perkembangan lebih lanjut, serta membuat keputusan yang bijak berdasarkan analisis dan proyeksi yang tersedia.

Terkini

Dokter Ungkap Jalan Kaki Interval Bisa Cegah Stroke

Senin, 15 September 2025 | 11:51:13 WIB

10 Produk Skincare yang Ampuh Atasi Komedo

Senin, 15 September 2025 | 11:51:12 WIB

Rekomendasi 7 Lipstik Implora Natural dan Awet Dipakai

Senin, 15 September 2025 | 11:51:08 WIB

5 Rekomendasi Handbody Scarlett Paling Harum

Senin, 15 September 2025 | 11:51:05 WIB