JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia baru saja mengesahkan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang baru. Meski diajukan sebagai langkah untuk memperbaiki regulasi sektor pertambangan, kehadiran UU ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Organisasi ini menilai bahwa UU yang baru justru memberikan langkah mundur dalam pengelolaan sektor pertambangan yang sudah penuh tantangan di tanah air.
Kekhawatiran Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam
Salah satu kritikan utama dari WALHI adalah bahwa revisi ini justru membuka pintu lebih lebar bagi eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. "Perubahan keempat dalam UU Minerba ini dinilai tidak berdasarkan pendekatan kebijakan yang menyeluruh," ujar Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati. Dia menambahkan, "Alih-alih memperkuat kontrol negara, perubahan ini membuka peluang penyimpangan yang dapat merugikan kondisi sosial dan lingkungan di Indonesia."
UU yang baru ini memperluas subjek hukum yang berhak memperoleh konsesi tambang. Dengan memasukkan badan usaha swasta, organisasi kemasyarakatan, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ke dalam daftar entitas yang bisa mendapatkan konsesi tambang, WALHI menilai potensi konflik kepentingan menjadi lebih besar. "Pemberian konsesi kepada ormas keagamaan, misalnya, menimbulkan pertanyaan besar tentang kapasitas dan transparansi dalam pengelolaannya," lanjut Nur Hidayati.
Dampak Lingkungan dari Eksploitasi Tak Terkendali
Kekhawatiran lain yang diangkat oleh WALHI adalah dampak lingkungan yang diabaikan. Aktivitas pertambangan, terutama di sektor batu bara dan mineral logam, diketahui menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan seperti deforestasi dan pencemaran sumber daya air. "Tanpa ada penguatan dalam pengelolaan lingkungan, UU Minerba yang baru akan memperburuk krisis yang sudah ada," tegas Nur Hidayati.
Pernyataan WALHI ini sejalan dengan berbagai laporan tentang kerusakan lingkungan di wilayah-wilayah pertambangan. Banyak daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, menambah tantangan yang ada di Indonesia untuk menjaga kelestarian alam di tengah tekanan pembangunan ekonomi.
Kritik terhadap Pengawasan dan Liberalisaasi
Selain itu, revisi UU Minerba ini disebut-sebut lebih berfokus pada liberalisasi sektor pertambangan. Kebijakan baru ini dianggap memberikan lebih banyak ruang bagi badan usaha swasta untuk terlibat dalam kegiatan pertambangan tanpa pengawasan yang kuat. "Pelemahan mekanisme pengawasan dalam UU ini membuka celah bagi eksploitasi tanpa kontrol," ujar Hidayati mengingatkan.
Ketidakhadiran penguatan mekanisme pengawasan disebut-sebut menjadi masalah utama dalam tata kelola pertambangan di Indonesia selama ini. Melalui UU yang baru ini, ketidakberdayaan pengawasan kian diperlebar, menjadikan pengabaian terhadap kepentingan lingkungan dan masyarakat sekitar sebagai risiko yang lebih besar.
Mengabaikan Prinsip Keberlanjutan
Salah satu yang menjadi dasar penolakan WALHI adalah karena UU Minerba yang baru ini dinilai mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan yang seharusnya menjadi landasan dalam pengelolaan sumber daya alam. "Kemakmuran rakyat dan pelestarian untuk generasi mendatang seharusnya menjadi prioritas utama, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945," tegas Nur Hidayati.
Pertambangan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan akan merugikan masyarakat di sekitar lokasi tambang, yang umumnya bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan sehari-hari. Dampak lanjutan dari perubahan lingkungan akibat eksploitasi tambang tersebut berisiko menjadi krisis sosial dan kesehatan masyarakat.
Seruan untuk Revisi dan Evaluasi Ulang
Sebagai reaksi atas pengesahan UU Minerba ini, WALHI mendesak agar pemerintah dan DPR bersedia untuk meninjau kembali pengesahan ini. "Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam haruslah mengutamakan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat," kata Nur Hidayati dengan tegas.
Langkah-langkah yang lebih inklusif dengan memperhatikan pemangku kepentingan secara menyeluruh dinilai perlu dilakukan untuk mencapai pengelolaan sumber daya yang lebih adil dan berkelanjutan. WALHI juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Dalam menghadapi berbagai kritikan ini, pemerintah diharapkan dapat bersikap responsif dan mempertimbangkan kembali poin-poin krusial yang diangkat oleh WALHI dan berbagai lembaga advokasi lingkungan lainnya. Komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan keadilan sosial seharusnya menjadi fondasi utama dalam pengembangan kebijakan eksploitatif semacam ini, demi masa depan negeri yang lebih baik dan berkelanjutan.