JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, telah memberikan dampak signifikan terhadap pergerakan harga sejumlah komoditas global. Dalam sebuah diskusi ekonomi yang digelar di Jakarta, Airlangga menjelaskan bahwa tarif tersebut, yang sering disebut sebagai tarif resiprokal atau timbal balik, telah menyebabkan penurunan harga berbagai komoditas vital, termasuk minyak mentah, batu bara, gandum, minyak sawit (CPO), dan beras.
Tarif Trump Menurunkan Harga Komoditas Global
Airlangga menyatakan bahwa harga minyak dunia, yang merupakan salah satu komoditas utama dalam perekonomian global, telah mengalami penurunan yang cukup tajam. "Akibat kebijakan tarif Trump 2.0, harga komoditas global mengalami penurunan yang signifikan. Harga minyak mentah (crude oil) turun hampir 30%, dengan harga Brent terjun 28% dan kini berada di kisaran US$60-an per barel," ujar Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta.
Lebih lanjut, Airlangga juga menyebutkan bahwa harga batu bara yang semula cenderung stabil juga mengalami penurunan hingga mencapai angka US$97 per ton. Penurunan harga komoditas ini, menurut Airlangga, memiliki dampak luas terhadap perekonomian dunia, karena menandakan adanya penurunan permintaan (demand) global. Ia juga menyebutkan bahwa komoditas lain seperti kedelai, gandum, dan CPO turut mengalami penurunan harga yang cukup signifikan.
"Selain minyak dan batu bara, harga kedelai, gandum, CPO, dan beras juga mengalami penurunan. Ini menunjukkan bahwa tren penurunan harga komoditas sedang terjadi di pasar global," tambah Airlangga. Menurutnya, penurunan harga komoditas ini memberikan sinyal bahwa permintaan global sedang melambat, yang mengarah pada potensi resesi ekonomi dunia.
Kondisi Pasar Minyak dan Rebound Harga
Pergerakan harga minyak sendiri menjadi sorotan utama dalam beberapa pekan terakhir. Meskipun ada sedikit pemulihan harga pada Senin, 8 April 2025, pasar minyak global tetap dibayangi oleh ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Menurut data yang dihimpun oleh tim riset CNBC Indonesia, harga minyak dunia mengalami sedikit kenaikan pada perdagangan Senin. Minyak mentah jenis Brent ditutup pada harga US$64,92 per barel, setelah sebelumnya berada di angka US$64,21 per barel pada akhir pekan sebelumnya.
Sementara itu, harga West Texas Intermediate (WTI) juga menguat sedikit, mencatatkan harga US$61,54 per barel, naik dari sebelumnya US$60,70 per barel. Namun, meskipun ada pemulihan harga, tren mingguan menunjukkan bahwa harga Brent telah jatuh hampir 13% dibandingkan dengan level awal bulan April, yang sempat menyentuh US$74,49 per barel. Hal ini menunjukkan bahwa ketegangan yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif AS terhadap China terus memberikan tekanan terhadap pasar minyak.
Batu Bara Menguat Setelah Penurunan Tiga Hari Berturut-Turut
Berbeda dengan minyak, harga batu bara menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah mengalami penurunan dalam tiga hari berturut-turut. Berdasarkan data Refinitiv, pada 7 April 2025, harga batu bara tercatat sebesar US$98,9 per ton, naik 0,92% dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang berada di angka US$98 per ton. Kenaikan harga batu bara ini terjadi setelah sebelumnya mengalami penurunan yang cukup signifikan, mencerminkan ketidakpastian pasar global akibat perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
Harga batu bara yang menguat ini dapat menjadi indikator penting bagi sektor energi global, yang sangat bergantung pada stabilitas harga batu bara sebagai sumber energi utama di banyak negara. Walaupun ada kenaikan harga, namun ketidakpastian global terkait kebijakan tarif AS-China masih memberikan bayangan resesi bagi sektor ini.
Emas: Komoditas yang Justru Menguat di Tengah Ketidakpastian
Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi yang disebabkan oleh perang dagang dan kebijakan tarif AS, harga emas menjadi salah satu komoditas yang justru menguat. Emas, yang sering dijadikan sebagai aset safe haven, berhasil mencatatkan kenaikan harga meskipun terdapat tekanan pada pasar global. Namun, harga emas mengalami fluktuasi yang signifikan.
Pada perdagangan Senin, 7 April 2025, harga emas dunia di pasar spot terjun sebesar 1,81% ke level US$2.982,34 per troy ons, setelah sebelumnya menyentuh level tertinggi di atas US$3.000 per troy ons. Penurunan harga emas ini mencerminkan adanya aksi investor yang beralih ke dolar Amerika Serikat (AS) sebagai pilihan investasi yang lebih aman, akibat kekhawatiran akan eskalasi perang dagang yang semakin dalam. Harga emas yang melemah dalam tiga hari berturut-turut ini tercatat mengalami pelemahan hingga 5%.
Namun, pada Selasa, 8 April 2025, harga emas kembali mengalami sedikit pemulihan dan tercatat menguat sebesar 0,09% di level US$2.985,11 per troy ons. Meskipun harga emas sempat anjlok, emas tetap dipandang sebagai komoditas yang dapat bertahan di tengah resesi global, karena banyak investor yang memilihnya sebagai tempat berlindung dari ketidakpastian pasar.
Peringatan Airlangga tentang Potensi Resesi Global
Dengan penurunan harga komoditas dan ketegangan perdagangan yang berlangsung, Airlangga Hartarto memperingatkan bahwa dunia perlu bersiap menghadapi kemungkinan resesi. "Seluruh harga komoditas turun, artinya permintaan global akan menahan. Kita harus hati-hati terhadap kemungkinan resesi dunia," ujar Airlangga, menekankan bahwa ketidakpastian pasar global saat ini dapat membawa dampak buruk bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Selain itu, Airlangga juga mengingatkan bahwa meskipun harga emas menguat, komoditas lainnya menunjukkan tren penurunan, yang berpotensi berdampak negatif bagi negara-negara pengimpor barang dan energi. Dalam situasi ini, negara-negara perlu menjaga stabilitas ekonomi domestik dan memperkuat daya saing untuk menghadapi potensi krisis yang mungkin timbul akibat resesi global.