JAKARTA - Industri penerbangan Indonesia kembali menjadi sorotan setelah pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga tiket pesawat domestik sebesar 13 persen selama periode mudik Lebaran 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan keringanan bagi masyarakat yang hendak melakukan perjalanan mudik pada masa liburan panjang tersebut. Namun, tidak semua pihak menyambut kebijakan ini dengan antusias. Pengamat penerbangan, Alvin Lie, memberikan pandangannya mengenai efektivitas kebijakan ini, terutama dalam konteks perencanaannya bagi para pemudik.
Efektivitas Diskon Tiket Pesawat bagi Pemudik
Alvin Lie, seorang pengamat penerbangan ternama, mengungkapkan bahwa kebijakan penurunan harga tiket pesawat domestik ini kurang efektif bagi para pemudik. "Pelaku perjalanan mudik sudah merencanakan perjalanan dan anggarannya jauh sebelumnya. Mereka sudah terlanjur membeli tiket, sehingga tidak bisa menikmati kebijakan ini karena tidak berlaku surut," kata Alvin Lie dalam keterangan resminya pada Ahad, 3 Maret 2025.
Pemudik umumnya sudah memesan tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, dengan harapan mendapatkan harga yang lebih terjangkau. Oleh karena itu, diskon yang baru diterapkan menjelang masa mudik dianggap terlambat untuk dapat dirasakan dampaknya oleh sebagian besar pemudik. Terlebih lagi, kebijakan yang tidak berlaku surut ini membuat mereka yang sudah membeli tiket di harga normal tidak dapat menikmati potongan harga yang ditawarkan.
Fokus pada Wisatawan
Lebih jauh, Alvin menyatakan bahwa kebijakan penurunan harga tiket pesawat ini lebih bermanfaat bagi wisatawan, bukan pemudik. Wisatawan yang merencanakan liburan selama masa Lebaran bisa mendapatkan keuntungan dari tiket domestik yang lebih murah. "Selama periode mudik, harga tiket rute internasional mengalami kenaikan signifikan, sehingga membuat tiket domestik lebih atraktif bagi pelancong,” tambah Alvin Lie.
Beban Maskapai dan Pengelola Bandara
Tidak hanya itu, Alvin juga menyoroti beban tambahan yang harus ditanggung oleh maskapai penerbangan dan pengelola bandara akibat kebijakan ini. Kendati pemerintah menurunkan fuel surcharge dengan besaran yang sama seperti saat Natal dan Tahun Baru, terdapat faktor lain yang memberatkan. "Saat Nataru, nilai tukar Rp 16.000 per dolar AS, sedangkan sekarang Rp 16.600 per dolar AS. Artinya, beban kurs bagi maskapai naik Rp 600 atau sekitar 3,75 persen. Ini berat bagi maskapai penerbangan," jelas Alvin.
Di samping itu, pemangkasan biaya Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) dan Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan, dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U) sebesar 50 persen dinilai memberatkan bandara.
Perlunya Solusi Permanen
Alvin Lie berpendapat bahwa langkah yang lebih mendasar diperlukan apabila pemerintah sungguh-sungguh berniat untuk menurunkan harga tiket pesawat secara berkelanjutan. Menurutnya, solusi jangka panjang harus diutamakan, bukan sekadar kebijakan populis yang bersifat sementara. "Jangan hanya memangkas PPN dari 11 persen menjadi 6 persen dalam masa liburan saja. Hapus total PPN dari tiket domestik, karena tiket internasional juga tidak dipungut PPN. Begitu juga dengan Avtur untuk rute domestik, seharusnya tidak dikenakan PPN, sama seperti rute internasional," ujar Alvin.
Dengan penghapusan PPN secara keseluruhan, menurut Alvin, harga tiket domestik bisa turun sedikitnya 15 persen secara berkelanjutan. "Ini solusi permanen, bukan hanya kebijakan sesaat yang tidak berdampak besar bagi pemudik," katanya menegaskan.
Tanggapan dari Pemerintah
Kebijakan penurunan harga tiket pesawat sebesar 13 persen ini pertama kali diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK), Agus Harimurti Yudhoyono. Dia menjelaskan bahwa penurunan harga tiket pesawat tersebut merupakan hasil dari beberapa langkah pengurangan biaya, seperti penurunan ongkos kebandarudaraan, pengurangan harga avtur di 37 bandara, dan pengurangan fuel surcharge. Selain itu, kebijakan ini juga mendapatkan dukungan dan intervensi dari Kementerian Keuangan untuk menstabilkan harga.